Perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah tahun 2025 di Indonesia diwarnai perbedaan penetapan tanggal. Hal ini terjadi karena beberapa komunitas keagamaan menetapkan 1 Syawal lebih awal dibandingkan dengan pemerintah.
Jamaah An-Nadzir di Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, melaksanakan Sholat Idul Fitri pada Minggu, 30 Maret 2025. Keputusan ini berbeda dengan penetapan pemerintah yang kemungkinan besar jatuh pada Senin, 31 Maret 2025. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan metode penentuan awal Syawal yang digunakan.
Pimpinan Jamaah An-Nadzir, Samiruddin Pademmudi, menjelaskan bahwa penetapan tanggal 1 Syawal didasarkan pada metode hisab dan rukyat, serta analisis menggunakan aplikasi astronomi seperti Luna SolCal dan Sun Position Demo. Mereka juga melakukan pengamatan bulan sabit menggunakan kain tipis hitam.
Metode pengamatan ini, menurut Samiruddin, memperhatikan gerhana bulan pada 14 Maret 2025 sebagai penanda pertengahan Ramadan. Mereka juga mengamati pergerakan matahari dan bulan untuk memastikan pergantian bulan dari Ramadan ke Syawal. Hal ini merupakan bagian dari tradisi dan keyakinan mereka.
Jamaah An-Nadzir dan Metode Hisab Tradisional
Jamaah An-Nadzir memulai puasa Ramadan lebih awal, pada 28 Februari 2025, dan menyelesaikannya 30 hari kemudian. Dengan demikian, mereka merayakan Idul Fitri lebih cepat. Penggunaan aplikasi astronomi modern dipadukan dengan metode tradisional untuk memastikan keakuratan penentuan awal Syawal.
Perbedaan metode ini menunjukan keragaman dalam memahami dan mempraktikkan ajaran Islam di Indonesia. Walaupun menggunakan teknologi modern, Jamaah An-Nadzir tetap berpegang teguh pada tradisi dan interpretasi mereka sendiri. Hal ini perlu dipahami dan dihormati.
Warga Wakal, Maluku: Tradisi Leluhur sebagai Pedoman
Di Negeri Wakal, Maluku, warga muslim juga merayakan Idul Fitri lebih awal, yakni pada Sabtu, 29 Maret 2025. Sholat Idul Fitri di Masjid Nurul Awal Wakal dipenuhi jamaah yang bahkan sampai ke luar pagar masjid.
Kepala Pemerintahan Negeri Wakal, Ahaja Suneth, menjelaskan bahwa penetapan 1 Syawal di daerahnya berdasarkan metode hisab tradisional warisan leluhur. Metode ini tidak bergantung pada alat astronomi modern, melainkan pada kalender tradisional dan observasi pergerakan bulan.
Mereka memulai puasa Ramadan pada 27 Februari 2025, dan menyelesaikannya 30 hari kemudian. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun dan menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Wakal. Keakuratan metode tradisional ini telah teruji selama bergenerasi.
Perbedaan Metode dan Pentingnya Toleransi
Perbedaan metode penentuan 1 Syawal antara pemerintah dan beberapa komunitas Islam di Indonesia, seperti Jamaah An-Nadzir dan warga Wakal, menunjukkan keberagaman interpretasi dalam Islam. Pemerintah menggunakan metode hisab dan rukyat yang mengacu pada kriteria MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Sementara itu, komunitas-komunitas tersebut menggunakan metode tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan sebagai bentuk kekayaan keberagaman dalam beragama di Indonesia. Sikap saling menghormati dan toleransi antar umat sangatlah penting.
Penting bagi semua pihak untuk saling menghargai perbedaan dan menjaga persatuan. Idul Fitri seyogyanya menjadi momentum untuk mempererat ukhuwah islamiyah dan memperkuat rasa kebersamaan di tengah keberagaman.
Menteri Agama telah mengimbau umat Islam untuk saling menghormati keputusan masing-masing. Perbedaan dalam penetapan hari raya adalah bagian dari kekayaan Islam di Indonesia, yang harus dijaga dan dirayakan dengan penuh kedamaian dan kebersamaan.
Informasi Tambahan: Aspek Astronomi dan Kalender
Penentuan awal bulan dalam kalender Hijriah, termasuk Syawal, terkait erat dengan pengamatan hilal (bulan sabit muda). Kriteria visibilitas hilal bervariasi, tergantung pada metode hisab dan rukyat yang digunakan. Metode hisab melibatkan perhitungan astronomis, sementara rukyat adalah pengamatan langsung bulan sabit.
Perbedaan kriteria ini, seperti ketinggian hilal di atas ufuk dan elongasi (jarak sudut antara bulan dan matahari), dapat mengakibatkan perbedaan penetapan tanggal 1 Syawal. Faktor-faktor seperti kondisi cuaca dan lokasi pengamatan juga turut mempengaruhi hasil rukyat.
Metode hisab tradisional seringkali dipadukan dengan observasi lokal. Hal ini bertujuan untuk memastikan keakuratan penentuan awal bulan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor astronomis dan juga konteks lokal. Kombinasi metode ini menekankan pentingnya keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan tradisi.